SALISMA.COM – 5 November 1960, sebuah tim ekspedisi yang terdiri dari 11 ilmuwan dan satu dokter terdampar di kawasan paling terpencil di Rusia. Mereka telah melakukan perjalanan panjang selama 36 hari melalui laut dari Rusia. Setidaknya kapal baru akan kembali satu tahun lagi.
Di tengah-tengah misinya, seorang dokter Rusia, Leonid Rogozov tiba-tiba mengalami sakit perut luar biasa. Pada 29 April 1961 pagi, tubuhnya menggigil di balik dinginnya salju. Perutnya sakit, mual, demam dan lemas. Kondisinya terus memburuk semakin malam.
Keesokan harinya, upaya membawa dokter ini ke rumah sakit pun gagal ditempuh lantaran badai salju parah di sekitar stasiun Novolazarevskaya. Belum lagi jarak yang harus dilewati untuk ke rumah sakit lebih dari 1.600 km.
Saat itu, pilihan Rogozov hanya dua. Meninggal karena risiko komplikasi usus buntu atau bertahan hidup dengan menjalani operasi sendiri. Upaya terakhir akhirnya dilakukan. Pukul 02.00 waktu setempat, dia meminta bantuan dari supir dan meteorologi untuk memegang cermin agar dia bisa melihat bagian dalam perutnya.
Sambil berbaring dan tubuh condong ke depan, Rogozov mulai melakukan operasinya. Dimulai dengan pemberian anestesi lokal menggunakan larutan novocaine 0,5%. Setelah itu dia mulai membedah perutnya, membuat sayatan 10-12 cm dari dinding perut, dan membuka peritoneum (ruang di dalam perut bagian bawah).
Setelah 40 menit operasi, dia mulai lemah dan mengalami vertigo. Pada satu titik, dia mengatakan, ususnya mengeluarkan suara aneh. Menurut rekannya, hal ini cukup membuat mereka ingin melarikan diri. Tak lama setelah istirahat beberapa menit, operasi dilanjutkan kembali dan sekitar pukul 04:00 operasi itu selesai.
Dalam buku hariannya, Rogozov bercerita bagaimana dia melalui operasinya. “Saya tidak tidur sama sekali. Rasa sakitnya luar biasa! Rasanya seperti badai salju mencambukku dan digigit seratus serigala,” katanya, seperti dimuat Dailymail, Rabu (27/5/2015).
“Saya takut. Tapi ketika saya menyuntikkan novocaine, entah kenapa saya otomatis langsung melakukan operasi, dan sejak saat itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Pendarahan membuat saya vertigo, semakin lama saya lemah dan lemah. Setiap 4-5 menit, saya beristirahat selama 20-25 detik,” katanya.
Setelah empat hari mengonsumsi antibiotik, hari kelima suhu badan Rogozov mulai kembali normal. Setelah seminggu dia juga semakin pulih. Dalam waktu dua minggu, dia kembali bertugas di pangkalan.
Lebih dari satu tahun kemudian, kapal mereka tiba di pelabuhan Leningrad. Tim ekspedisi pun meninggalkan Antartica pada 29 Mei 1962. Sekembalinya dari sana, Rogozov bekerja dan mengajar di unit Bedah Umum Pertama Leningrad Medical Institute hingga sisa hidupnya.
Rincian cerita mengagumkan ini ditulis oleh putranya Vladislav dan diterbitkan dalamBritish Medical Journal.(liputan6)