JAKARTA – Pengesahan rancangan kitab undang-undangan hukum pidana (RKUHP) tidak perlu tergesa-gesa diselesaikan, perlu ada kesepakatan politik antara pemerintah dan DPR untuk menengahi proses RKUHP yang tidak kunjung selesai.
“Saya kira tidak perlu dipaksakan selesai pada masa sekarang. Sebab (RKUHP) ini terlalu kontroversial. Pada kenyataanya jumlah pasalnya sangat banyak, sekitar 700 pasal. Jika diburu-buru selesai hasilnya pun tidak tepat, ” kata Pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, di Jakarta Jumat (6/9/2019).
Menurut Bvitri, seperti dilansir dari republika.co.id, RKUHP sangat penting karena nantinya akan mengatur secara menyeluruh terkait pemidanaan di Indonesia. Sementara itu, saat ini ada sejumlah pasal dalam RKUHP yang sifatnya overcriminalization, di mana tindak pidana yang mestinya tidak perlu dimasukkan menjadi diatur di dalamnya.
“Jadi nanti semua rezim hukum pidana di negara ini akan diatur di RKUHP itu. Maka, kalau diburu-buru selesai seperti misalnya di undang-undang yang sebelumnya bisa berbahaya,” tegas Bvitri.
Dia juga menyebut ada kesan bahwa RKUHP yang dibahas saat ini seperti kerja setoran. Sehingga perlu ada solusi untuk memastikan prosesnya tidak terkatung-katung atau sebaliknya, dipaksakan untuk disahkan.
Hal yang harus dilakukan kata Bvitri, pertama, melakukan carry over atau pengambilalihan pembahasan di periode selanjutnya. Hal ini diusulkan lewat revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kedua, disepakati secara politik agar pembahasannya dilanjutkan di periode selanjutnya tanpa harus memulai lagi dari nol. Kesepakatan ini pernah dilakukan sebelumnya saat pembahasan UU Penyandang Disabilitas.
“Saat itu kondisinya sama dengan saat ini di mana pembahasan belum selesai tetapi mau dipaksakan. Kemudian disepakati untuk jangan (dipaksakan). Akhirnya dibahas di DPR yang baru pada saat itu,” ungkap Bvitri.***