Beberapa waktu terakhir, nilai tukar rupiah kembali menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Pada 21 November 2024, nilai rupiah nyaris mencapai Rp16.000 per dolar AS. Situasi ini mengingatkan pada masa krisis ekonomi 1998, ketika dolar AS melonjak hingga Rp16.800 dalam waktu singkat.
Dalam sebuah artikel berjudul: Habibie Pernah bikin Dolar Rp16.800 jadi Rp6.550, Begini Caranya—terbit di CNBC Indonesia pada 24 November 2024, menceritakan secara singkat apa yang dilakukan Presiden Habibie kala itu, untuk menaklukan dolar AS.
Krisis moneter kala itu bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga mengguncang tatanan politik Indonesia.
Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade, harus lengser. Posisi kepemimpinan beralih kepada BJ Habibie, yang langsung dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan ekonomi negara yang berada di ambang kehancuran.
Habibie adalah seorang teknokrat. Namun dia memahami bahwa langkah pertama yang harus diambil adalah menyelamatkan sektor perbankan.
Pada masa Orde Baru, kebijakan Paket Oktober 1988 mempermudah pendirian bank, tetapi lemahnya pengelolaan membuat banyak bank tumbang saat krisis melanda. Nasabah yang panik menarik dana besar-besaran, memperburuk situasi perbankan.
Menghadapi masalah ini, Habibie memutuskan untuk merestrukturisasi perbankan. Ia menggabungkan empat bank milik pemerintah menjadi satu entitas baru yang kini dikenal sebagai Bank Mandiri.
Langkah ini menjadi pondasi untuk memperkuat stabilitas perbankan. Selain itu, Habibie juga memisahkan Bank Indonesia (BI) dari pemerintah melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, menjadikan BI lembaga independen yang bebas dari intervensi politik.
Langkah berikutnya adalah penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan bunga tinggi. Tujuannya adalah memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap bank.
Dengan kepercayaan yang kembali tumbuh, masyarakat mulai menabung lagi, sehingga peredaran uang di masyarakat berkurang. Hasilnya, suku bunga yang sempat menyentuh angka 60% berhasil turun ke level belasan persen.
Habibie juga menyadari pentingnya menjaga stabilitas harga bahan pokok di tengah krisis. Ia mempertahankan subsidi untuk listrik dan BBM agar harga kebutuhan pokok tetap terjangkau.
Meski kebijakan ini menuai kritik, terutama karena pernyataan kontroversial Habibie yang meminta masyarakat berpuasa untuk berhemat, langkah tersebut berhasil meringankan beban rakyat.
Kombinasi kebijakan restrukturisasi perbankan, penerbitan SBI, dan pengendalian harga bahan pokok membuahkan hasil. Kepercayaan pasar terhadap ekonomi Indonesia mulai pulih, aliran investasi kembali masuk, dan nilai tukar rupiah menguat hingga Rp6.550 per dolar AS.
Kisah keberhasilan Habibie dalam menghadapi krisis ekonomi 1998 menjadi pelajaran berharga. Di tengah situasi yang penuh tantangan, kebijakan yang tepat, cepat, dan terukur mampu mengembalikan stabilitas ekonomi dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan negara.***
Komentar