Politikus PDIP Kapitra Ampera turut merespon pernyataan pengamat politik Rocky Gerung yang menuding Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai “bajingan tolol”.
Kapitra Ampera menilai apa yang diucapkan Rocky Gerung adalah sebuah ujaran kebencian terhadap Presiden. Dia mendesak polisi untuk segera menangkap Rocky Gerung.
Menurutnya, komunikasi Rocky Gerung sudah berubah dari komunikasi akademisi menjadi komunikasi premanisme. “Dia tak lagi pakai standar akal sehat, tapi akal busuk dan akal bulus,” kata Kapitra Ampera kepada media, Kamis, 3 Agustus 2023.
Dia menambahkan, Rocky Gerung tak sepantasnya menyerang Jokowi dengan kalimat seperti itu, terlebih status Rocky Gerung sebagai akademisi. Kapitra menilai Rocky Gerung telah memonopoli kebenaran yang dipaksakan untuk diterima orang lain.
“Artinya perbuatan-perbuatan seperti ini justru menodai intelektualitas dan perubahan akademisi karena perubahan perilaku akademik perilaku yang konstruktif, komparatif sehingga kebenaran-kebenaran itu diuji bukan dipaksa. Rocky sudah memonopoli kebenaran, otoritarian kebenarannya sendiri yang dipaksakan kepada orang lain,” katanya.
Menurut Kapitra Ampera, Rocky Gerung bahkan telah menyerang kehormatan personal Jokowi sebagai Presiden. Hal ini dianggap Kapitra tidak pantas. Sebab, dalam kesempatan saat orasi di hadapan massa buruh Rocky, menurut Kapitra, dengan tegas menyebut nama Jokowi.
“Dan menyerang presiden itu adalah kebijakan-kebijakan tidak boleh menyebut nama, lembaga karena presiden itu lembaga. Kalau menyebut orang itu efeknya ke personal bisa digugat delik,” papar Kapitra.
Karena itu, Kapitra menegaskan bahwa Rocky Gerung harus diberi pelajaran agar tidak mengulangi perbuatannya di masa yang akan datang. Dengan pembelajaran itu, kata Kapitra, Rocky tidak mengulangi pemikiran liatnya yang diklaim dia sebagai akal sehat.
“Untuk itu Rocky perlu diberi pelajaran biar dia tidak liar dalam experience pemikiran-pemikiran dia. Karena yang dia klaim sebagai akal sehat itu sebenarnya akal bulus dan akal busuk. Kalau dalam filsafat itu disebut kedangkalan berpikir. Orang intelektual tidak mengeluarkan perkataan-perkataan bajingan. Itu dulu dikenal dengan polemik kebudayaan, di zaman Socrates, Plato dan Aristoteles,” ungkapnya.***