SALISMA.COM (SC), JAKARTA – Ciri khas ponsel dengan teknologi terkini namun harga jual yang ‘ramah di kantong’ melekat sejak Xiaomi muncul pertama kali di tahun 2010. Hal inilah yang kemudian menjadi pembeda antara Xiaomi dengan produsen perangkat pintar lainnya.
Lewat strategi pemasaran perangkat murah tapi tidak murahan, Xiaomi ingin mengusik pasar ponsel pintar yang mengharuskan pecinta perangkat genggam merogoh kocek dalam untuk mendapatkan perangkat mumpuni.
CEO Lei Jun kala itu mengusung misi mengembangkan ROM dengan antarmuka yang sederhana dan memiliki nilai tambah bagi pengguna ponsel lewat kemunculan MIUI.
Debut di ranah peranti lunak diawali dengan kemunculan Xiaomi Mi 1 di tahun 2011 yang langsung mencuri hati penggila gadget. Ponsel yang digadang-gadang sebagai “Apple dari China” ini menawarkan spesifikasi yang mumpuni dengan harga yang jauh dibawah dari dugaan banyak orang.
Mi 1 yang kala itu dipasarkan dikisaran Rp2 jutaan memiliki spesifikasi yang setara dengan ponsel flagship Samsung Galaxy S2 yang dibanderol Rp3 jutaan.
Liu De dari divisi produk dan ekosistem Xiaomi mengatakan misi perusahaan untuk mengakomodir kebutuhan perangkat berkualitas dengan harga murah terutama di negara-negara berkembang.
“Kami ingin menjangkau pasar yang menginginkan produk berkualitas dengan harga relatif murah. Dalam 10 hingga 20 tahun kedepan kami melihat konsumsi akan semakin tinggi terutama di kota kedua dan ketiga kalangan usia 17 hingga 35 tahun,” kata Liu.
![]() Foto: ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo
|
Analis Jessie Ding dari firma Canalys mengakui kemunculan Xiaomi berhasil mengusik industri. Selama ini pengguna harus rela membayar mahal untuk mendapatkan ponsel premium, namun tidak demikian dengan kemunculan Xiaomi.
Skema Online-to-offline
Bukan hanya dari sisi harga jual, Xiaomi juga berhasil mendobrak tradisi pemasaran yang terasa monoton — mengandalkan ritel.
Ponsel perdana Xiaomi dipasarkan secara online dengan sistem jual cepat terbatas (flashsale). Dengan sistem penjualan ini, Xiaomi hanya perlu hitungan jam hingga hari untuk menjual habis ponsel besutannya.
Strategi pemasaran daring yang meminimalisir biaya pemasaran dibandingkan dijual lewat toko fisik terus dilakukan hingga jelang penghujung tahun 2013. Xiaomi secara resmi mengumumkan rencana untuk membuka toko ritel perdananya di Beijing.
Di tahun yang sama, Xiaomi berhasil mencatatkan angka penjualan mencapai 18,7 juta unit dan menjadikannya merek nomor lima yang paling banyak digunakan di China.
Strategi penjualan ini yang kemudian diikuti oleh kompetitor senegara Xiaomi, salah satunya OnePlus.
Memasuki usia keempat, Xiaomi memperluas cakupan pasar ke ranah lobal dengan menyambangi Singapura. Kemunculan Redmi dan Mi 3 menjadi penanda eksistensi Xiaomi di ranah global.
Dengan mengandalakan sistem penjualan daring, Xiaomi berhasil menjual semua stok Mi 3 hanya dalam waktu dua menit di Negeri Singa.
Bergabungnya Hugo Barra sebagai VP of Global Operation memperluas cakupan pasar Xiaomi ke Malaysia, Filipina, India, Indonesia, Thailand, Rusia, Turki, Brasil, Meksiko, Amerika Serikat, Eropa, Australia, hingga Selandia Baru.
Mulai Jual Harga Mahal
Tak sekedar mengandalkan seri Mi, Xiaomi juga menggarap pasar ponsel dengan layar bongsor lewat seri Redmi Note. Kemunculan seri Note dan Note Pro dengan banderol harga yang lebih tinggi sengaja disiapkan untuk menandingi iPhone 6.
Di India tercatat 50 ribu unit Redmi Note berhasil terjual dalam waktu enam detik di akhir tahun 2014.
![]() Xiaomi Mi Note 2 (Foto: Dok. Xiaomi)
|
Analis Counterpoint Research, Tarun Pathak mengatakan salah satu alasan yang menjadikan India sebagai fokus pemasaran sejumlah perusahaan tak lain karena kebanyakan konsumen di sana bersedia membayar lebih untuk sebuah kualitas.
Jessie Ding menyebut dari sisi spesifikasi, perusahaan asal China ini tidak banyak berubah. Kompetisi di pasar domestik akan kian beragam dan mengharuskan Xiaomi melahirkan inovasi baru.
“Tidak sedikit konsumen yang bersedia bayar mahal untuk mendapatkan produk berkualitas, hanya saja belakangan spesifikasi ponsel Xiaomi tidak banyak berubah,” ungkap Jessie dari firma Canalys.
Pada laporan kuartal ketiga tahun ini, Counterpoint mencatat pangsa pasar Xiaomi merosot hingga 10,6 persen dibandingkan kuartal kedua sebesar 11,2 persen. Oppo, Vivo, dan Huawei yang mulai getol memunculkan inovasi dalam fitur ponsel mulai menyalip Xiaomi di akhir Q3 2016.
Demi menjawab tantangan tersebut, kemarin (25/10) Xiaomi secara resmi memperkenalkan kemunculan dua ponsel flagship yakni Mi Mix dan Mi Note 2 serta sebuah headset VR di Beijing.
Meski begitu, Xiaomi seakan ingkar dengan pakem di awal kemunculannya. Kedua flagship terbarunya dibanderol dengan harga cukup tinggi yakni US$510 atau setara Rp 6,6 juta untuk Mi Mix dan US$415 (Rp 5,3 juta) hingga $515 untuk Mi Note 2.
Jin Di, analis dari lembaga riset IDC mengaku optimis meski dibanderol mahal, kemunculan Mi Mix justru akan mengubah imej Xiaomi ke arah perusahaan yang inovatif.
“Mix mengusung konsep yang bagus untuk membantu mengubah imej perusahaan. Xiaomi tengah berupaya menunjukkan posisi sebagai pemimpin pasar global lewat inovasi-inovasinya,” pungkas Jin.
Dengan tingkat kerumitan desain dan keterbatasan bahan baku, Jin memastikan Mix bukan ditujukan untuk mengejar target penjualan, tetapi lebih pada pemenuhan sebuah mimpi.
(CNN INDONESIA.com)