oleh

Membaca Bahasa Politik Megawati di Pilkada DKI

SALISMA.COM (SC), JAKARTA – Tak seperti ayahnya, Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia yang kerap mengumbar retorika, ekspresif, sambil sesekali berkonfrontasi. Megawati Soekarnoputri adalah politikus berpembawaan tenang.

Mega hemat berbicara di depan publik.

Artikulasi politiknya lebih banyak disampaikan secara simbolik. Persis seperti yang ia perlihatkan saat ini, menjelang detik-detik pencalonan pasangan bakal calon gubernur dan wakil gubernur untuk Pilkada DKI Jakarta.

Di tengah hiruk-pikuk politik di ibu kota, Ketua Umum PDI Perjuangan itu memilih menjaga jarak.

Sikap tersebut jelas mengundang keingintahuan publik. Pasalnya, sebagai partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPRD DKI Jakarta, PDI Perjuangan diyakini bakal sangat menentukan peta koalisi sekaligus hasil akhir Pilkada nanti.

Tetapi benarkah Megawati bersikap pasif seperti yang disangka publik dan media selama ini? Orang-orang yang mengenal Mega jelas akan membantah sangkaan itu.

Mega pastinya tidak berdiam diri, apalagi abai dengan Pilkada Jakarta yang sangat strategis. Ia sesungguhnya telah banyak berbicara, meski tidak dengan bahasa verbal seperti pemimpin partai lain, melainkan melalui bahasa simbolik.

Kebiasaan Mega berbicara lewat bahasa simbolik itu diungkapkan oleh mantan wartawan senior Forum Keadilan, Sen Tjiauw Gustafsson, dalam buku biografi Megawati dalam Catatan Wartawan: Menangis & Tertawa Bersama Rakyat, yang terbit baru-baru ini.

Di buku itu Sen menyebut Mega sebagai pemimpin yang lebih sering memakai bahasa simbolik dalam menyampaikan sikap politiknya. “Ia (Mega) lebih resonantif ketimbang artikulatif.”

Kalaupun menggunakan bahasa lisan, kata Sen, bukan bahasa yang bersahabat untuk dijadikan tajuk utama di media massa.

Dari hasil pengamatannya, Sen kemudian menyimpulkan bahwa sikap irit bicara itu terkadang menjadi bumerang bagi Mega sekaligus menjadi senjata bagi lawan-lawan politiknya.

Dalam konteks Pilkada Jakarta, pernyataan Sen itu terbukti benar. Sikap diam Mega menyikapi pencalonan bakal calon gubernur dan wakil gubernur, telah memicu ‘keterbelahan’ di internal partai.

Elite PDI Perjuangan, terutama di level DPP dan DPD Jakarta, terbelah dua antara kelompok yang mendukung Tri Rismaharini dan kelompok yang mendukung petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Keterbelahan tersebut dikhawatirkan dapat memecah suara dan melemahkan mesin politik partai saat Pilkada berlangsung.

Namun, di buku yang sama, wartawan senior Aristides Katoppo menyebut Mega, di balik segala kelemahannya, adalah sosok yang diberkati kemampuan leadership yang kuat untuk menjaga keutuhan partai.

Kemampuan tersebut, kata Tides, sudah teruji ketika Mega berjuang di bawah rezim otoritarian Orde Baru.

Di buku lain, Megawati: Anak Putra Sang Fajar, politikus senior Partai Golkar Akbar Tanjung mengatakan bahwa Mega sesungguhnya, bukan berdiam atau tidak berbuat apa-apa. “Ia (Megawati) menggunakan waktu untuk menyerap, mengendapkan, dan memahami berbagai persoalan yang berkembang,” kata Akbar.

Maka demikianlah Megawati Soekarnoputri. Ia menyampaikan pesan-pesannya secara simbolik, seolah berdiam diri, padahal punya perhitungan politik tersendiri untuk mengantisipasi berbagai risiko yang tengah dihadapi.

Isyarat kepada Ahok

Sesungguhnya tak terlalu sulit menerka sikap politik Megawati pada Pilkada Jakarta. Dari sejumlah peristiwa simbolik, Megawati sebenarnya telah sejak lama menyiratkan dukungan kepada Ahok.

Salah satu peristiwa paling penting terjadi ketika Mega merayakan ulang tahun ke-69 pada 23 Januari lalu. Saat itu, Mega memberikan potongan tumpeng pertama kepada Ahok.

Kemudian, pada Maret, Mega juga mendapuk Ahok sebagai orang pertama yang mendapat buku biografinya.

Pemberian potongan tumpeng pertama dan buku biografi tersebut sesungguhnya mencerminkan kedekatan dan kepercayaan Mega terhadap Ahok. Sayangnya, Ahok tak mampu menangkap pesan itu.

Ia ‘mengabaikan’ mekanisme penjaringan yang digelar PDIP dan memilih maju berbekal dukungan NasDem, Partai Hanura, dan Partai Golkar. Namun, meski diabaikan, Mega tetap membuka diri kepada Ahok.

Itu terlihat saat ia mengajak Ahok duduk satu mobil ketika hendak menghadiri Rapimnas Partai Golkar.

Isyarat penting lainnya adalah saat pengurus DPP (dengan sepengetahuan Megawati) menunjuk Ady Widjaja sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta menggantikan Bambang DH.

Pergantian tersebut jelas sangat kental aroma politik mengingat Bambang DH merupakan figur yang sangat kritis terhadap Ahok.

Namun Ahok kembali mengabaikan isyarat tersebut. Terbukti, tak ada pergerakan politik signifikan yang dilakukan Ahok. Setidaknya yang terlihat di mata publik.

Pengabaian yang kedua kalinya ini tampak sangat mempengaruhi sikap Mega. Itu terbaca dari pernyataan PDI Perjuangan melalui Ketua DPP Djarot Saiful Hidayat yang juga menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Kepada wartawan baru-baru ini, Djarot menyatakan PDIP bakal mengusung pasangan calon yang berasal dari kader partai.

Pernyataan tersebut jelas merupakan isyarat tegas dari PDI Perjuangan kepada Ahok. Situasinya semakin berat menyusul mulai maraknya demonstrasi anti-Ahok di sejumlah tempat di ibu kota. Mega tentu akan berhitung dua kali untuk mengusung Ahok.

Tetapi hal tersebut tidak serta merta menutup peluang Ahok untuk mendapat dukungan dari PDI Perjuangan. Bagaimanapun, setiap tanda atau simbol selalu terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda. Dan, lagi pula, politik tak sekadar bermain pada tataran tanda atau simbol.

Politik juga berbicara soal kepentingan yang kerap disembunyikan oleh para politikus sehingga tidak diketahui oleh publik.

Pada titik itu, politik menjadi sebuah misteri yang sulit diraba oleh siapapun. Setajam apapun pisau analisisnya.

 

(CNN INDONESIA.com)