oleh

Vonis Ringan Eks Presdir Agung Podomoro Bikin Nelayan Kecewa

SALISMA.COM (SC), JAKARTA – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia kecewa dengan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk Ariesman Widjaja, terpidana kasus suap pembahasan rancangan peraturan daerah reklamasi Teluk Jakarta.

Ketua Bidang Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, vonis yang diberikan hakim terlalu ringan karena tidak sebanding dengan dampak yang terjadi dalam kasus tersebut.

Selain itu, vonis tersebut lebih rendah daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yang ingin agar Ariesman dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp250 juta.

“Sejujurnya kami (KNTI) kecewa dengan putusan hukum Tipikor. Padahal apa yang dilakukan Ariesman memberi keuntungan besar kepada PT APL,” ujar Marthin kepada CNNIndonesia.com.

Marthin berkata, Ariesman mestinya mendapat hukuman lebih berat karena telah melakukan korupsi di sektor sumber daya alam yang memiliki peran vital bagi kehidupan masyarakat, khususnya DKI Jakarta.

“Kerusakan lingkungan dari korupsi SDA sulit dipulihkan. Upaya pemulihan menjadi beban publik kembali,” kata Marthin.

Ia menilai pertimbangan hakim memperingan vonis Ariesman, yakni karena PT APL telah berkontribusi banyak bagi Jakarta, merupakan sinyalemen bahaya.

Menurut Marthin, kontribusi PT APL selama ini hanya mengarah pada perampasan hak untuk memiliki tempat tinggal.

“Contohnya penggusuran di sekitar Jakarta seperti di Kalijodo, dan pembangunan rumah susun. Itu pelanggaran HAM,” ujar Marthin.

Pertimbangan hakim atas tindakan Ariesman sebagai justice collaborator juga dipandang Marthin tidak sejalan dengan perkembangan penyidikan. Sebab hingga kini KPK baru menetapkan tersangka atas tiga orang yang terjaring dalam operasi tangkap tangan, yaitu Ariesman, mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi, dan asisten personel PT APL Trinanda Prihantoro.

“Saya belum melihat ada JC (justice collaborator) di sana. KPK juga baru menetapkan tiga orang. Pihak lain seperti pengembang, eksekutif, dan legislatif tidak ada yang tersangkut. Padahal produk kebijakan reklamasi keluar dari eksekutif dan legislatif,” kata Marthin.

Korporasi dipandang bersalah

Tindakan suap yang dilakukan Ariesman, menurut Marthin, merupakan bentuk kejahatan korporasi. Ia menilai PT APL dan perusahaan pengembang reklamasi lain mendapat keuntungan luar biasa di balik tindakan Ariesman menyuap anggota legislatif.

“Korupsi Ariesman merupakan kejahatan korporasi. PT APL harusnya diberikan sanksi, seperti mencabut izin atau memberi denda besar,” ujarnya.

Marthin menyarankan KPK untuk menganalisis kembali suap yang dilakukan Ariesman. Ia meminta KPK memeriksa aliran sumber suap, juga siapa saja yang menerimanya, untuk memastikan suap itu melibatkan korporasi atau tidak.

“Sejauh ini KNTI yakin itu kejahatan korporasi, karena suap Ariesman memengaruhi kebijakan yang diterbitkan pemerintah,” ujar Marthin.

Ketua Majelis Hakim Tipikor Sumpeno menyatakan, Ariesman terbukti bersalah karena memberikan suap kepada Mohammad Sanusi yang menjabat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta saat itu. Suap Rp2 miliar tersebut terkait pembahasan Rencana Peraturan Daerah Reklamasi Pantai Utara Jakarta di DPRD DKI Jakarta.

Atas tindakan tersebut, hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider tiga bulan penjara kepada Ariesman.

Sementara itu, Pengadilan Tipikor menjatuhi hukuman 2,5 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan penjara kepada Trinanda. Ia terbukti terlibat suap kepada Sanusi. Vonis untuk Trinanda lebih ringan dari tuntutan jaksa yang ingin dia dijatuhi tiga tahun enam bulan penjara dengan denda Rp200 juta subsider enam bulan penjara.

Di sisi lain, Sanusi masih menunggu persidangan. Berkas politikus Gerindra itu telah dilimpahkan ke pengadilan.

Berdasarkan perkembangan persidangan, suap dilakukan untuk memengaruhi kebijakan biaya kontribusi tambahan reklamasi sebesar 15 persen yang diterbitkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Sebanyak 15 persen kontribusi tambahan diambil dari NJOP tanah, bukan hitungan NJOP dari keseluruhan tanah yang dijual. Kebijakan ini membuat para pengembang reklamasi merasa keberatan.

 

(CNN INDONESIA.com)