SURABAYA, SALISMA.COM (SC) – Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) membuat inovasi pesawat tanpa awak (drone) berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligent/AI) untuk menghindari potensi kecelakaan kerja. Mereka adalah Hammam Dhiyaurrahman Yusdin, Muhammad Adrian Fadhilah, dan Inggita Nirmala Putri Wardhana dari Departemen Teknik Sistem dan Industri, serta Alif Aditya Wicaksono dari Departemen Teknik Komputer.
Tergabung dalam Tim Bramunastya ITS, mereka menciptakan drone pengawas lingkungan kerja yang dinamakan Environment and Human Safety Surveillance (ERASTY).
Hammam menjelaskan, drone ini terintegrasi dengan AI yang menggunakan nama algoritma You Only Look Once (YOLO) dan dilengkapi rangkaian sensor arduino.
“Teknologi tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya indikator tindakan tidak aman dari Alat Pelindung Diri (APD) pekerja seperti rompi, baju lengan panjang, helm, kacamata, dan sarung tangan,” ujarnya Ahad (7/3).
Hammam melanjutkan, ERASTY juga dilengkapi sensor yang dapat digunakan untuk mendeteksi ancaman kebakaran dan gas berbahaya. Tidak hanya itu, pada drone dilekatkan sensor proximity sehingga bisa secara otomatis mendeteksi potensi terjadinya tabrakan dengan objek.
“Kami namakan itu fitur Smart Collision untuk menghindarkan drone dari halangan di lingkungan kerja,” ujarnya yang dikutip dari Republika.co.id.
Mahasiswa kelahiran Gresik ini menambahkan, cara kerja dari ERASTY dimulai dari sistem perangkat kerasnya.
Perangkat keras yang berupa rangkaian sensor akan menerima sinyal dari kondisi lingkungan kerja. Nantinya sinyal yang ditangkap dikirim ke perangkat lunak yang akan menentukan potensi bahaya di lingkungan kerja.
Apabila ERASTY mengidentifikasi tindakan atau kondisi yang tidak aman, maka sistem peringatan akan diaktifkan sebagai pengingat pekerja tentang bahaya tersebut. “Dari proses identifikasi itu, hasil scan akan diterima dan disimpan oleh operator computer,” kata Hammam.
Hammam mengungkapkan, untuk membuat AI dari ERASTY bisa mendeteksi suatu objek, timnya harus melatih program tersebut terlebih dahulu dengan memasukkan kumpulan data yang relevan.
Dalam kasus ERASTY, salah satu data yang dimasukkan berupa foto-foto APD. “Semakin lama waktu latihan, akurasi pendeteksiannya semakin tinggi dan semakin cepat juga,” ujarnya.
Selama 14 hari masa pelatihan, Hammam mengungkapkan durasi rata-rata ERASTY untuk mengidentifikasi objek adalah 410,1 milidetik.
Lebih lanjut, tingkat akurasi tertinggi yang dapat dicapai dalam identifikasi objek ERASTY adalah 90,87 persen. Sedangkan waktu penangkapan gas tercepat diperoleh dalam durasi satu detik dengan jarak sumber gas 10 sentimeter.
Hammam mengklaim keunggulan utama inovasi drone yang diciptakan timnya ini adalah tingkat akurasi AI yang tinggi serta fleksibilitas drone dalam melakukan pengawasan. “Drone dapat melakukan pengawasan pada area yang sulit terjangkau oleh alat pengawas konvensional seperti CCTV,” kata dia.
Inivasi yang diciptakan ini meraih medali emas pada ajang Asean Innovative Science Environmental and Entrepreneur Fair (AISEEF) 2021 yang diselenggarakan Indonesian Young Scientist Association (IYSA) pada 23 Februari. Pada kompetisi ini, mereka menjadi salah satu yang terbaik dari 70 paper internasional lainnya di kategori Innovative Science. (mil)