CHINA – Lokasi Masjid Heyitkah di kota Hotan, Xinjiang, China, kini hanya tinggal puing. Padahal dahulunya ini Masjid kebanggaan masyarakat muslim di sana. Masjid Heyitkah dulunya adalah bangunan yang indah.
Seperti masjid ini pulalah suasana hari masyarakat di sana menyambut lebaran tahun 2019 ini. Muslim di kota ini tak bergembira seperti saudara seiman mereka di belahan dunia yang lain.
Masyarakat Muslim yang kebanyakan adalah bagian dari suku Uighur dan minoritas lainnya merayakan Idul Fitri kali ini dengan tekanan, setelah puluhan masjid mereka dihancurkan.
Di sudut lain kota, slogan “Didik Rakyat untuk Partai” terpasang dengan warna merah menyala di dinding sebuah sekolah dasar. Para murid pun harus memindai wajah mereka sebelum masuk gerbang yang dililit kawat berduri.
Dilansir dari CNNIndonesia, sejumlah gambar satelit dan analisis visual oleh Earthrise Alliance kepada AFP menunjukkan ada 36 masjid dan bangunan keagamaan lainnya yang diruntuhkan atau dihapus oleh pemerintah setempat sejak 2017.
Sedangkan pada masjid yang masih berdiri, para jemaat harus melewati metal detector untuk melaksanakan kewajiban mereka kepada Yang Maha Kuasa, atau sekadar menjalankan keyakinan mereka.
Muslim di Xianjiang hanya bisa beribadah di masjid yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Di tempat lain, kota kuno Kashgar yang dulu terkenal sebagai bagian dari Jalur Sutra di masa lampau, tak ada lagi panggilan azan Subuh. Padahal, azan yang bergema di seluruh penjuru kota pernah menjadi kebanggaan dan dipamerkan kepada wisatawan.
Masyarakat Muslim setempat merayakan Idul Fitri pada Rabu (5/6) lalu dengan sunyi. Sebagian dari mereka berjalan menuju Masjid untuk melaksanakan salat sunah Id dalam diam.
Tak ada pula gema takbir dan tahlil yang biasa didengar umat sebagai tanda 1 Syawal.
Masjid yang tergolong salah satu terbesar di China itu jadi lokasi yang disetujui pemerintah setempat sebagai tempat pelaksanaan ibadah salat hari raya bagi umat Muslim di kawasan tersebut.
Menemani jemaat berjalan menuju masjid, pagar petugas keamanan dan pemerintah memantau dari sekeliling masjid.
James Leibold, pakar hubungan etnis dan kebijakan China di La Trobe University menilai Partai Komunis sebagai penguasa negara tersebut memandang agama sebagai ancaman yang nyata.
Pemerintah setempat juga diketahui telah menempatkan jaringan berteknologi tinggi di sepanjang negeri, memasang kamera, pos polisi mobil, dan pos pemeriksaan tampak di setiap jalan sebagai respons serangan mematikan yang dituduhkan kepada ekstremis dan separatis Islam dalam beberapa tahun terakhir.
Diperkirakan, satu juta masyarakat Uighur dan etnis minoritas berbahasa Turki lainnya ditahan di jaringan kamp pengasingan.
Setelah awalnya membantah atas keberadaan kamp tersebut, otoritas China tahun lalu mengakui bahwa telah menjalankan “program pendidikan dan pelatihan” yang bertujuan menjauhkan orang dari paham ekstremisme dengan mengajarkan hukum China dan Mandarin.
Pemerintah Xinjiang mengatakan kepada AFP bahwa masyarakat dalam pusat pelatihan itu tidak diizinkan melaksanakan kegiatan kepercayaan mereka karena hukum China melarang melakukannya dalam fasilitas pendidikan.
Namun, kata pihak pemerintah, masyarakat tersebut bebas melakukannya “ketika mereka kembali ke rumah masing-masing pada akhir pekan”.
AFP tidak melihat adanya perempuan berhijab atau pun laki-laki yang memelihara jenggot saat berkunjung ke daerah tersebut. Mantan tahanan kamp mengatakan mereka ditahan karena mengenakan simbol-simbol yang diyakini mewakili agama tersebut.****