SALISMA.COM (SC) – Versi Lebih Tua; Senapelan Abad 15
Versi lain menyebutkan Kota Pekanbaru diperkirakan sudah ada sejak akhir abad ke-15 Masehi. Bermula dari sebuah ladang di sebuah, yang berada di aliran Sungai Siak. Suku yang bermukim di sana adalah Suku Sinapelan yang dipimpin seorang kepala suku dengan sebutan Batin. Daerah yang dulunya bernama Payung Sekaki ini kemudian berubah nama menjadi Batin Senapelan yang lebih dikenal dengan Senapelan atau Chinapelan. Namun juga ada yang menyebutnya Sungai Pelam.
Wilayah Senapelan ini kemudian dipimpin oleh seorang Bujang Sayang. Seiring berjalannya waktu, wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh Bujang Sayang. Kekuasaannya meluas ke berbagai daerah. Hinggga menimbulkan rasa cemburu negeri Petapahan yang terletak di Muara Sungai Tapung. Tahu-tahun berikutnya pada tahun 1511 M Portugis berhasil menaklukkan Malaka. Kekalahan Malaka inilah yang kemudian membuat perpindahan pusat pemerintahan ke Djohor-Riau. Akibatnya Senapelan menjadi gudang logistik komoditi perdagangan. Baik itu yang berasal dari luar maupun dari pedalaman. Kondisi tersebut berlangsung hingga tahun 1721. Pada satu tahun berikutnya, berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Siak Sri Indrapura (ada juga versi yang menyebutkan 1726).
Senapelan terus berkembang menjadi pintu gerbang perdagangan dan pelabuhannya yang terletak di Teratak Buluh. Sultan Siak Alamuddinsyah kemudian merintis berdirinya pekan di Senapelan. Sejak saat itu tepatnya Selasa 21 Rajab 1204 H atau 23 Juni 1784 M nama Senapelan berganti menjadi Pekan Baharu. Tahun 1765, Sultan meninggal dunia yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raja Muhammad Ali bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsya.
Di bawah kepemimpinan putranya, ternyata perkembangan Pekan tak sepesat ayahnya. Menyebabkan pemindahan lokasi ke tempat yang baru yaitu di Pelabuhan sekarang. Sedangkan, Pekan Baharu yang lebih sering disebut Pekanbaru pada tahun 1784 ditetapkan menjadi Ibukota Siak. Sejak saat itu, resmilah Pekanbaru menjadi ibukota provinsi dari sepuluh provinsi Kerajaan Siak.
Perkebunan Belanda dan Basis Militer Jepang
Menurut kitab Babul Qawaid (Pintu segala pegangan), kerajaan Siak dibagi menjadi 10 provinsi, salah satunya Provinsi Pekanbaru. Provinsi Pekanbaru ini dikepalai oleh Datuk Syahbandar yang mempunyai kewenangan sebagai kepala pemerintahan, kehakiman bahkan kepolisian. Kedudukan Pekanbaru sebagai ibukota provinsi bertahan sampai tahun 1916. Selanjutnya, pada tahun 1916-1942 Pekanbaru sebagai kedudukan districthoop yang dipimpin oleh Datuk Pesisir Muhammad Zen.
Jabatan Districthoop dan Onderdistricthoop ini memegang kekuasaan pemerintahan, kehakiman dan juga kepolisian. Selain itu, juga ada jabatan jaksa, ajun jaksa dan cranie (juru tulis). Ketika pemerintahan Siak berada di bawah kepemimpinan Sultan Hasyim mulailah masuk pengusaha-pengusaha Belanda. Mereka membuka kebun karet di selatan kota Pekanbaru. Salah satunya kebun karet Sukajadi dan kebun karet Cinta Raja.
Area perkebunan tersebut berada di Kampung Dalam, Kampung Baru, Kampung Bukit, serta kampung lainnya di sepanjang Sungai Siak. Pertambahan penduduk yang terjadi di Pekanbaru diarahkan untuk membuka usaha pertanian meliputi perkebunan gambir, lada serta karet. Selain itu, komoditi lainnya rotan, damar, kayu, getah, perca dan sebagainya. Namun, Pekanbaru tidak mempunyai hasil untuk kebutuhan yang menyebabkan semua keperluan itu harus didatangkan dari Singapura.
Berdasarkan Besluit van Het Inlandsch Zelfbestuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian distrik dari Kesultanan Siak. Namun pada tahun 1931, Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai oleh seorang controleur yang berkedudukan di Pekanbaru dan berstatus landschap sampai tahun 1940.
Perkembangan yang cukup pesat inilah yang kemudian mendorong penduduk untuk membangun gedung pertokoan di Pasar Bawah. Pada masa kekuasaan Districthoop Datuk Wan Abdurrakhman, perluasan kota dilakukan ke arah timur menuju Sungai Sail. Dari RRI ke jalan Tg. Datuk (sekarang). Selain itu, juga dirintis jalan ke selatan, akan tetapi belum telaksanan akibat pecahnya Perang Asia Timur Raya.
Kemudian menjadi ibukota Onderafdeling Kampar Kiri sampai tahun 1942. Setelah pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai oleh seorang gubernur militer yang disebut gokung. Pekanbaru dijadikan ibukota pemerintahan militer Jepang untuk daerah Riau Daratan dan disebut dengan Riau Syu. Riau Syu ini dipimpin oleh seorang yang disebut Cokang. Dampaknya, pemerintahan sultan-sultan dan raja-raja pun dibekukan.
Pada tahun 1945, berita proklamasi kemerdekaan juga diterima di Pekanbaru. Kemudian ditunjuklah Aminuddin sebagai residen, namun beliau justru tidak menerima dan malah masuk ke pihak Belanda. Hal tersebut tidak membuat pemuda-pemuda PTT gentar, mereka tetap bertekad untuk pantang mundur. Pekanbaru ditetapkan menjadi daerah otonomi disebut Haminte atau Kota B melalui kpts tgl. 17 Mei 1946 No. 103. Selanjutnya berdasarkan Penetapan Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri tgl.28 Nopember 1947, No.13/DP yang menetapkan batas-batas Kota B : sebelah Utara adalah sungai Siak, sebelah Selatan adalah Sungai Nyamuk, sebelah timur adalah Sungai Sail dan sebelah barat adalah sungai Air Hitam.
Menjadi Ibukota Provinsi Riau
Berdasarkan Ketetapan Gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 Nomor 103, Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut Haminte atau Kotapraja. Kemudian pada tanggal 19 Maret 1956, berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1956 Republik Indonesia, Pekanbaru (Pakanbaru) menjadi daerah otonom kota kecil dalam lingkungan Provinsi Sumatera Tengah. Pekanbaru menjadi Ibu Kota Provinsi Riau, dalam status Kotamadya, Kota Besar/Bandaraya (Metropolitan Perjuangan rakyat Riau untuk menjadikan Riau sebagai provinsi daerah otonomi swatantra tingkat I sejak tahun 1954).
Puncaknya, diselenggarakanlah Kongres Riau di Pekanbaru pada 31 Januari s/d 2 Februari 1956 yang memutuskan supaya Riau dijadikan provinsi Otonom. Sejak tanggal 9 Agustus 1957 berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 Republik Indonesia, Pekanbaru masuk ke dalam wilayah Provinsi Riau yang baru terbentuk. Kota Pekanbaru resmi menjadi ibu kota Provinsi Riau pada tanggal 20 Januari 1959 berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-25 sebelumnya yang menjadi ibu kota adalah Tanjungpinang (kini menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau).
Pada akhirnya, perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkannya UU Darurat RI No.19 tahun 1957 tanggal 9 Agustus 1957 dan diundangkan tgl 10 Agustus 1957 dalam Lembaran Negara No.75. Realisasi pembentukan Provinsi Riau ini diselenggarakan sejak 5 Maret 1958 dengan dilantiknya Mr. S.M. Amin sebagai Gubernur Riau pertama di Tanjung Pinang.
Pada 12 Maret 1958, Pekanbaru dapat diduduki oleh pasukan tentara pusat di bawah pimpinan Kaharuddin Nasution. Sesuai Kawat Mentri Dalam Negeri No.15/15/6 kepada Gubernur Riau tentang meminta Dewan Penasehat Gubenur Riau segera memberikan pertimbangan kepada Mendagri tentang pemindahan ibu kota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru.
Berdasarkan Kawat tersebut, Gubernur kemudian menetapkan Panitia untuk menyelidiki pemindahan ibukota tersebut. Pada 20 Desember 1958, Keputusan Mendagri menetapkan bahwa Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau. Secara berangsur-angsur sejak Februari 1960 realisasi pemindahan dilakukan dan status Pekanbaru menjadi Kotamadya. (ong dari berbagai sumber net)