SALISMA.COM (SC), JAKARTA – “Jadi ini kemenangan yang manis, kemenangan yang sangat manis.”
Itu lebih kurang celoteh Alfred Riedl, lelaki kelahiran Wina, Austria, 2 November 1949 silam, di ruang ganti Stadion Rizal Memorial, Filipina, saat merayakan momen kemenangan skuat garuda atas jiran Singapura. Ya, kemenangan tipis yang mengantar Tim Nasional Indonesia ke babak penting: Semifinal turnamen bola sepak se-Asia Tenggara 2016.
Dalam ulasan berita di berbagai media, Riedl disebut tak bisa menyembunyikan kegirangannya. Gol pertama Andik Vermansah serta kemenangan hasil sepakan cantik Stefano Lilipaly, tak pelak membuat matanya berembun bahagia.
Mengapa Riedl sangat bahagia? Mungkin saja ia tiba-tiba mengingat masa kegagalannya bersama tim Garuda. Contohnya: 2014 lalu, saat di tangan kepelatihannya Skuat Garuda pernah bertekuk lutut oleh lawan yang sama, Filipina.
Atau satu lainnya yang tak pernah akan terlupa, di tangan Riedl dalam ajang yang sama di Malaysia, 2010, tim bola sepak Indonesia mencatatkan sejarah kelam pula. Di mana terjadi tragedi tiga gol bersarang hanya dalam waktu belasan menit, yang menyebabkan impian juara sepak bola Asia tenggara hanya dongeng belaka.
Salah siapa? Tak pernah jelas. Namun sepertinya, mata yang berkaca bahagia itu boleh apabila diibaratkan sebagai penebusan dosa Riedl bagi “bobotoh” sepak bola tanah air. Ya, bisa jadi ini waktu buat Riedl. Modalnya? tentu saja taburan nama jawara di Skuat Garuda.
Sayangnya di balik semua keriaannya kemarin di Manila, publik sempat heran dengan lontaran-lontaran omongan Riedl yang tercatat media sebelum laga. Ia -yang pernah melatih tim nasional pada 2010, 2014 dan saat ini- sempat menyatakan ragu dengan tim yang dilatihnya kali ini. Banyak saja alasan, yang memang mungkin benar-benar mengesalkannya.
Mulai dari bicara terganggu dengan aturan bahwa Tim Garuda hanya boleh memakai maksimal dua pemain dari setiap klub lokal, hingga disiplin serta faktor non teknis yang timbul dari internal organisasi bola sepak dalam negeri. Entah disadari atau tidak, ia juga pernah tercatat bersesumbar ragu soal sangat beratnya peluang tim nasional lolos semifinal. Entah apa sebabnya.
Jika Riedl mau membaca sejarah tim nasional Indonesia, sebenarnya ia tak perlu ragu apalagi minder dengan kondisi tim yang baru pulih usai Indonesia lepas dari sanksi. Sebab deretan nama pelatih asing pernah menangani skuat Garuda. Bahkan beberapa tahun sebelum ia memulai karier kepelatihannya.
Mari tilik nama-nama asing itu.
Ada Choo Seng Quee, pelatih asing pertama yang menangani Indonesia. Mulai 1951 hingga 1953. Di tangannya Skuat Garuda berlaga di Asian Games India dan tembus perempat final. Langkah Indonesia terhenti oleh sang tuan rumah tiga gol tanpa balas.
Lalu ada Antun “Tony” Pogacnik asal Yugoslavia -melatih Indonesia pada 1954-1963. Di tangannya, Indonesia pernah menahan imbang tim sekaliber Uni Soviet pada perempat final Olimpiade 1956, meraih perunggu di Asian Games 1958, juara Piala Merdeka Malaysia 1961 dan 1962.
Kerennya, Pogacnik -yang dihadirkan atas peran Soekarno yang berkawan dengan Presiden Yugoslavia, Josef Broz Tito- mengakhiri kariernya dengan sejarah hitam: Diduga terlibat kasus pengaturan skor yang dikenal dengan Skandal Senayan 1962.
Pogacnik sempat kembali pada 1977, namun tak lagi menghasilkan prestasi.
Selepas era Pogacnik yang sempat sembilan tahun bercokol, muncul nama Wiel Coerver -melatih 1975 hingga 1976. Bekas pelatih Feyenoord yang meski bertabur pujian, tapi miskin prestasi. Di tangannya, Indonesia memang hanya mencapai peringkat kedua kualifikasi Olimpiade 1976, tapi ia punya jasa tak ternilai yaitu buku yang berisi kurikulum bola sepak untuk masa itu.
Coerver sempat kembali melatih Indonesia pada 1979, pretasinya medali perak SEA Games 1979.
Pada 1979 Marek Janota, pelatih asal Polandia mencatatkan namanya di deretan pelatih asing tim Garuda. Ia juga minim prestasi, bahkan catatannya agak suram. Sebab di tangannya, Indonesia menjadi juru kunci grup pada Piala Kirin di Jepang.
1980, lantas datang Frans Van Balkom dari Belanda. Ia sejatinya datang ke tanah air lantaran hendak melatih Niac Mitra. Namun lantaran Coerver minim prestasi, ia ditugasi menggantikan Coerver. Hasilnya? sama juga minimnya. Di tangan Balkom, Indonesia hanya mendapat peringkat keempat grup pada kualifikasi Olimpiade Moskow 1980.
Setahun berikutnya, Bernd Fischer dari Jerman datang. Ditangannya, Indonesia hanya sanggup membawa pulang perungu SEA Games Manila 1981.
Era kemudian masuk ke 1990an. Anatoly Polosin dari Uni Soviet diminta singgah untuk melatih tim nasional. Medali Emas SEA Games di Manila jadi persembahannya, selebihnya tak ada lagi. Namun yang istimewa darinya adalah temuan dua pemain yang kelak jadi tulang pungung tim nasional, Widodo C Putro dan Rocky Putiray.
Polosin kembali melatih pada 1994 dan tetap tanpa prestasi puncak.
Setelah Polosin, pelatih asal Serbia-Montenegro Ivan Toplak menyusul -melatih 1992-1993. Toplak dipercaya sebagai pelatih brilian saat menangani Yugoslavia meraih perunggu pada ajang Olimpiade Los Angeles 1984. Sayangnya, kebrilianannya tak menular saat ia menangani tim garuda. Target emas di SEA Games 1993, Lolos Piala Dunia serta Olimpiade 1994, semuanya meleset.
Pada 1995, bekas pelatih klub Italia ternama Sampdoria Romano Matte pernah menukangi timnas. Hanya saja ia juga gagal total. Tapi dari tangannya lahir tim muda yang kelak menjadi kebanggaan Indonesia: Indonesia Primavera.
Dua tahun berikutnya, 1997, lelaki berkebangsaan Belanda yang sebenarnya didatangkan klub Mastrans Bandung Raya hingga jadi kampiun Liga Indonesia 1995/1996, Henk Wullems. Di tangannya, medali perak SEA Games 1997 diraih skuat Garuda.
Bernard Schumm masuk ke deratan nama pelatih asing setelah Meneer Wullems. tak ada prestasi juga di tangannya. Namun penemuannya akan Bambang Pamungkas -pemain muda berusia 19 tahun kala itu- memberika harapan bagi sepak bola Indonesia.
Kemudian era 2000an ada nama Ivan Kolev asal Bulgaria. Di bawah asuhannya, Tim Nasional Indonesia tak terlalu mentereng, hanya runner up Piala Tiger 2002 dan bermain pada fase grup putaran final Piala Asia 2004. Kolev mengulangi karir kepelatihannya di timnas pada 2007, dengan nihil prestasi puncak.
Seterusnya rentang 2004 hingga 2007, seorang lelaki kelahiran Liverpool Inggris didapuk melatih timnas Indonesia. Peter White namanya. Sayang harapan besar kala itu di pundak White mengingat skuat garuda sedang bergelora, hanya dibalas prestasi setingkat Kolev: Runner up Piala Tiger 2004.
Setelah itu ada juga Wilhelmus Rijsbergen yang datang dari Belanda di tengah kisruhnya kondisi sepak bola Indonesia. Hasilnya: Indonesia menjadi juru kunci grup babak ketiga kualifikasi Piala Dunia 2014. Masih dalam fase kekalutan kondisi bola sepak Indonesia, seorang Argentina Luis Manuel Blanco pernah singgah namun itu pun tak lama. Nyaris tak ada karya yang ia persembahkan bersama Skuat Garuda untuk Indonesia. Begitu pula dengan mantan bintang Liga Indonesia, Jacksen F Tiago.
Nah Tuan Riedl, apalagi yang anda ragukan? Deretan nama itu sudah didedahkan. Lihat saja, lelaki dari berbagai negara pernah mencoba menukangi tim Indonesia.
Tak semua punya prestasi. Tapi publik Indonesia tetap bersorak, mendukung bahkan rela menangis jika timnya kalah.
Yang publik butuhkan kali ini adalah kepercayaan diri anda, Tuan Riedl. Jangan terlalu ruwet banyak mengutuk keadaan dan ‘merengut’ di bangku cadangan.
(CNN INDONESIA.com)